Mengembalikan Bhinneka Tunggal Ika sebagai Identitas Bangsa Demi Menjaga Indahnya Pluralisme Dibalik Bahaya Ancaman Disintegrasi

Topik: Gagasan atau pengalaman merintis dan/atau merawat toleransi dan perdamaian.

 

Budaya Toleransi

Substansi dari sebuah keberagaman adalah perbedaan dan menerima perbedaan sebagai rahmat Tuhan. Namun tidak semua orang dapat menerima adanya perbedaan dalam lingkungannya. Sikap chauvinisme kadangkala lebih menonjol  dalam mengatasi permasalahan tersebut dibanding jiwa besar ataupun rasa keterbukaan terhadap perbedaan tersebut. Toleransi adalah kata kunci memecah kebuntuan dalam perbedaan. Toleransi adalah konsepsi yang dilandasi pada kultur dan kehendak untuk membangun pengertian dan penghormatan terhadap yang lain (Forsf, 2013). Toleransi yang sebaiknya diterapkan sesuai dengan local wisdom/local genius masing-masing daerah. Mayoritas mengayomi yang minoritas, sedang yang minoritas menghormat yang mayoritas. Bhinneka Tunggal Ika dalam hal ini bermakna ”bermacam ragam etnis yang hidup di jamrud khatulistiwa ini, tetapi memiliki satu tujuan yang sama”. Kesadaran akan adanya berbagai kelompok, etnis, agama yang ada dalam kehidupan ini, menimbulkan sikap keterbukaan untuk menerima dan menghargai perbedaan tersebut. Menjadikan Bhinneka Tunggal Ika sebagai identitas bangsa pada hakekatnya merupakan manifestasi nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam aspek kehidupan bangsa ini, dengan ciri-ciri khas yang membedakan bangsa kita dengan bangsa lain dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Identitas bangsa berhubungan dengan pengalaman sebuah bangsa di masa lalu. Pengalaman bangsa di masa lalu mengendap menjadi karakter, sifat, dan nilai-nilai hidup bersama. Berdasarkan hakikat pengertian tersebut, maka Bhinneka Tunggal Ika ini tidak dapat dipisahkan dengan jati diri bangsa atau lebih kepribadian Bangsa Indonesia. Identitas bangsa yang mewujudkan integrasi nasional. Kesadaran untuk menerima identitas bansa ini sebagai faktor penguat pondasi berbangsa dan bernegara sehingga menjadi semakin kokoh. Namun nilai identitas bangsa itu telah terkikis dan menjadi bartang langka di negeri ini. Masyarakat seperti kehilangan jati dirinya. Perasaan pentingnya persatuan dalam ke-bhinekaan yang sejatinya merupakan alasan dasar kita menjadi bangsa Indonesia, namun pada masa Orde Baru ternyata ke-bhinekaan tersebut justru dianggap sebagai sebuah ancaman yang terus merongrong kekuasaan. Selama itu pula Orde Baru  telah menciptakan lingkungan yang monolitik, yang tidak mengenal dalam dirinya sifat oposan bahkan kompetisi terbuka. Dalam konteks ini termasuk pula penolakan terhadap semua bentuk perbedaan perspektif dan ideologis. Segala bentuk realitas heterogen diingkari. Hal ini telah melahirkan masyarakat yang tidak memiliki kemampuan untuk menerima perbedaan yang ada. Perbedaan baik itu agama, ras, etnis, adalah sesuatu yang demikian melahirkan perbedaan berat, bahkan kecurigaan yang kehilangan rasionalitas. Setelah tumbangnya orde baru, masyarakat yang tadinya sudah kehilangan jati diri, berhadapan dengan nilai-nilai lama yang sudah pudar, tetapi nilai baru belum datang. Ini kondisi yang disebut oleh tokoh sosiologi, Robert Merton (dalam Sunarto, 2004) sebagai kondisi Anomie. Salah satu identitas yang paling parah mengalami destruksi adalah nilai-nilai keberagaman (bhineka tunggal ika). Masing kelompok ingin menetapkan identitas kelompoknya di tengah belum kekosongan nilai-nilai. Fakta yang terjadi, masyarakat begitu mudah marah terhadap saudara setanah airnya sendiri dengan melahirkan peristiwa yang membuat kita miris.

Selain faktor dari dalam tersebut, rapuhnya nilai-nilai toleransi juga dipengaruhi dari luar. Globalisasi menawarkan nilai universal yang harus dianut semua bangsa. Artinya, tidak akan ada kearifan lokal yang ditawarkan oleh globalisasi karena merupakan penyatuan budaya yang disebut budaya dunia. John Naisbitt (dalam Widharma, 2012) berpandangan dalam era globalisasi telah terjadi kecenderungan paradoksal. Salah satunya dengan derasnya trend ke arah terbentuknya kota buana (global city) akibat dari kemajuan teknologi transformasi dan informatika. Namun sisi lainnya,masyarakat modern semakin merindukan nilai-nilai dan gaya promordial,terutama pada romantisme etnis. Bahkan Naisbitt menyerukan trend ini telah begitu mengeras sehingga menjelma bagaikan virus tribalisme.

Selain itu Arnold Toynbee (dalam Widharma, 2012) mengutarakan, kebudayaan akan berkembang apabila ada keseimbangan antara challenge dan response. Kalau challenge terlalu besar, sedangkan kemampuan untuk me-response terlalu kecil, kebudayaan itu akan terdesak. Tetapi jika yang terjadi sebaliknya, justru akan menumbuhkan kreativitas masyarakat . Saat ini kita bisa saksikan bagaimana generasi muda kita menghamba pada selera pasar dan budaya-budaya yang dijajakan kapitalisme. Hal ini dalam jangka panjang akan menggerus kita punya budaya. Nilai-nilai kolektif jangan sampai digantikan oleh nilai-nilai individualisme. Oleh karena itu, seperti yang dikatakan Toynbee (dalam Widharma, 2012), kita harus punya kemampuan merespon dan mengelola budaya-budaya yang masuk dari luar tersebut. Maka, agar tidak terombang ambing, kepribadian kita harus kuat terlebih dahulu.

Sesudah 13 tahun berlalu, reformasi juga ternyata belum mampu mengembalikan identitas bangsa yang telah lama diberangus dari kepribadian masyarakat. Faktanya mulai marak kekerasan berlabel kelompok yang mengatasnamakan agama.

kemajemukan 

Gambar 1. Gambaran Pesan Kemajemukan (sumber: adefebri05tkj1.blogspot.com)

 

Kembali Pada Bhineka Tunggal Ika Sebagai Identitas

            UUD 1945 pasal 36 dengan tegas menempatkan Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan bangsa Indonesia. Ke-bhinekaan yang Tunggal Ika seperti yang tertulis dalam kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular pada masa Kerajaan Majapahit di abad ke-14, merupakan identitas asli bangsa ini yang sudah tertanam sejak lama dalam pribadi setiap rakyatnya. Sebuah identitas suatu bangsa yang berdiri diatas keaneka-ragaman yang mungkin tidak akan kita jumpai pada belahan dunia manapun. Di dalam Bhinneka Tunggal Ika pula terdapat sejarah panjang bangsa ini. Sejarah akan sebuah bangsa yang berdiri diatas tanah yang pernah dikuasai oleh kerajaan Hindu, Budha, Islam, Portugis, Inggris, Spanyol, Jepang dan Belanda. Tentunya semua itu mempengaruhi segala aspek kehidupan masyarakat di Indonesia, baik dalam budaya, bahasa, agama dan keyakinan dan lain-lain. Perubahan yang terjadi pada masyarakat Indonesia dari masyarakat yang berkepercayaan dinamisme dan animisme hingga menjadi penganut agama-agama import bawaan saudagar-saudagar china, timur tengah, dan barat, juga semakin memperkaya bangsa ini dalam ranah ilmu pengetahuan alam dan sosial maupun teologi. Perlahan demi perlahan toleransi antar umat beragamapun berkembang pada masyarakat Indonesia, seiring dengan semakin derasnya ajaran-ajaran agama baru yang menginvasi Indonesia.

            Jika kita pahami identitas bukanlah suatu yang selesai dan final dan keadaan yang dinegosiasi terus-menerus, maka wujudnya akan selalu tergantung dari proses yang membentuknya. Identitas bangsa Indonesia merupakan sesuatu yang perlu diwujudkan dan terus menerus berkembang atau seperti yang telah dirumuskan Bung Karno sebagai ekspresi roh kesatuan Indonesia, kemauan untuk bersatu dan mewujudkan sesuatu dan bermuatan yang nyata. Perwujudan identitas bangsa Indonesia tersebut jelaslah merupakan hasil proses pendidikan sejak dini dalam lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan formal dan informal. Untuk itu bagaimana, pemerintah, tokoh agama dan masyarakat bersinergi untuk kembali pada identitas kita yang asli yakni bangsa yang berbeda-beda tetapi satu jua.

 

 

img_94241candi-prambanan-dari-depan 

Gambar 2. Mengunjungi Situs Budaya Dapat Menjadi Salah Satu Langkah Meningkatkan Rasa Toleransi dalam Berbudaya (sumber: Yahoo Image)

Kita hendak mendirikan suatu negara “semua buat semua”. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tetapi negara “semua buat semua”. (Soekarno)

Tinggalkan komentar